Kamis, 30 Desember 2010

Toko oen Malang


Memasuki Toko Oen di Jalan Basuki Rahmat, Malang, Jawa Timur, suasana tempo dulu langsung menyapa. Ada radio kuno di satu sudut. Ruangan yang luas menjadi tampak penuh, salah satunya karena banyaknya foto–foto yang dipajang di dinding, foto hitam–putih mengenai suasana kota Malang tempo dulu. Ada foto Hotel Tugu, beberapa penanda Kota Malang, gereja tua, juga tentunya eksterior Toko Oen kala itu.
toko oen memiliki berbagai jenis es yaitu Tutti Frutti Cassata, Tropicana Cream, Peach Melba, Corn Ice Cream, Sparkling Delight, hingga es krim soda. Tampaknya semua menggiurkan.
Ada dua menu andalan toko ini, yakni es krim dan steak. Saya lantas memesan tiga es krim sekaligus, Oen`s Special, Banana Split, dan Chocolate Parfait. Sekilas, es krim ini tidak berbeda dengan es krim yang biasa dijual di swalayan. Akan tetapi, semakin lama di lidah, makin terasa rasa susu dan telurnya. Manisnya terasa pas pula.

Pemilik Toko Oen, Danny M, menjelaskan, resep es krim yang ia punyai masih sama dengan resep Mr Oen. "Raw material–nya asli dan yang jelas tidak ada bahan kimia sama sekali. Mengapa bisa asli, karena koki–koki kami diwarisi resep dari koki sebelumnya," ujarnya.


Bahan utama es krim, lanjut Danny, adalah susu sapi asli dan telur ayam kampung. "Pembuatannya tetap tradisional, tetapi mesinnya sudah kami kreasikan dengan teknologi baru," ujar Danny tanpa memerinci lebih lanjut. Yang menjadi andalan es Oen`s Special, berupa dua sendok bulat es rasa vanila dan cokelat ditambah buah ceri dan beberapa wafer.
Juru masak kepala, Balego Sulistyo, menuturkan, cara membuat steak tidak berbeda dengan lain, begitu pula bahan–bahannya. Hanya, bumbu untuk melumuri steak memang khas Toko Oen. "Dan ini asli, belum berubah sejak zaman Mr Oen," ujar Danny.

Cara membuat bumbu, menurut Balego, mudah saja. Tanpa ingin berahasia, ia menuturkan, "Tepung terigu digoreng sampai coklat, lalu diberi air. Setelah ditambah bumbu–bumbu, seperti bawang merah, bawang bombai, bawang putih, tulang sapi, tulang ayam, merica, cengkeh, dan pala, lalu direbus selama dua hari. Setelah itu baru proses saring". Sambung Balego, "Ada lagi yang khas, yakni tambahan saus raja rasa."


Sumber : kompas
liburan.info

Payung Batu

Payung adalah salah satu tempat nongkrong kalangan muda, berada di pinggir teping arah ke kota batu. Disana menyuguhkan Banyak fasilitas selain tempat nongkrong tetapi di payung sangat khas makanan adalah jagung bakar dan roti bakar yang begitu enak di lidah yang mantap . Jadi kalau anda pergi ke kota batu jangan lewatkan untuk berkunjung ke tempat warung makan yang bersuasana sejuk dan asri ini.

Alun -alun Malang

Alun-alun merupakan suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam.di buat oleh fatahillah, Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja,bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan. Lebih jauh Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten.

Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan seperti "rampogan" acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata.
Sejarah Perkembangan Alun-alun

Perkembangan alun-alun sangat tergantung dari evolusi pada budaya masyarakatnya yang meliputi tata nilai, pemerintahan, kepercayaan, perekonomian dan lain-lain.
Zaman Hindu-Budha, alun-alun telah ada (Buku Negara Kertagama, menyatakan di Trowulan terdapat alun-alun) asal-usulnya ialah dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta ijin kepada “dewi tanah”. Yaitu dengan jalan membuat sebuah lapangan “tanah sakral” yang berbentuk “persegi empat” yang selanjutnya dikenal sebagai alun-alun.Masa kerajaan Mataram, di Alun-alun depan istana secara rutin rakyat Mataram “seba” menghadap Penguasa (lihat Keraton Yogyakarta). Alun-alun pada masa ini sudah berfungsi sebagai pusat administratif dan sosial budaya bagi penduduk pribumi.

Fungsi administratif: masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat.
Fungsi sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, apakah dalam perdagangan, pertunjukan hiburan ataupun olah raga. Untuk memenuhi seluruh aktivitas dan kegiatan tersebut alun-alun hanya berupa hamparan lapangan rumput yang memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan.

Masa masuknya Islam, bangunan masjid dibangun di sekitar alun-alun. Alun-alun juga digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar Islam termasuk Salat Idul Fitri. Pada saat ini banyak alun-alun yang digunakan sebagai perluasan dari masjid seperti Alun-alun Kota Bandung.

Pada periode berikutnya kehadiran kekuasaan Belanda di Nusantara, ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di Alun-alun Yogyakarta. Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi).

Periode zaman kemerdekaan, banyak alun-alun yang berubah bentuk. Salah satunya alun-alun Malang. Faktor pendorong pertumbuhan ini macam-macam diantaranya kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, Perdagangan dan Pencapaian (Dadang Ahdiat, 1993).
sumber
Artikel www.Wikipedia.com

Coban Pelangi

Wilayah Poncokusumo yang memiliki 17 Desa/ kelurahan itu berada di kaki Gunung Semeru (3676 Mdpl), gunung tertinggi di Pulau Jawa. Bentang pegunungan Semeru menyuguhkan pesona alam yang paling menakjubkan di Pulau Jawa. Aliran sungai yang mengalir diantara gunung gemunung, akhirnya menciptakan air terjun yang amat elok, Coban (air terjun) Pelangi.Coban Trisula atau Coban Pelangi merupakan zona wisata alam andalan di Kecamatan Poncokusumo. Air terjun itu berada di jalur menuju Gunung Bromo dan Semeru itu, tepatnya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).

Obyek wisata Coban Pelangi merupakan zona konservasi alam dibawah perlindungan Perum Perhutani. Air terjun menakjubkan itu, berjarak ± 10 km dari Kecamatan Tumpang dan ± 32 km dari Kota Malang. Coban Pelangi berada di kawasan pegunungan bertopografi terjal dengan kemiringan diatas 45 % dan berada di ketinggian 1200-1400 Mdpl.

Jika berkunjung ke Gunung Bromo, tiada salahnya mampir sejenak di Coban Pelangi. Usai melewati Desa Gubukklakah, akan nampak plang besar bertuliskan Coban Pelangi di sisi kanan jalan. Parkir kendaraan di depan pintu masuk, Rp 500 (roda 2) dan Rp 1000 (roda 4), tinggal melangkah menuju pintu masuk.



Wisata Murah

AREA pintu masuk Coban Pelangi berada diatas tebing setinggi sekitar 100 meter. Untuk masuk area wisata alam, pengunjung membayar Rp 3100 per orang di loket masuk. Dengan tarif murah meriah itu, wisata alam Coban Pelangi bisa dnikmati sepuasnya.

Akan tetapi, pada musim penghujan, pihak pengelola sengaja membatasi kunjungan hingga pukul 16.00. Maklum saja, secara tiba-tiba bisa muncul kiriman air melimpah dari pegunungan di bagian hulu. Meskipun, tidak pernah ada catatan korban dari air bah kiriman, pengelola tetap memasang plang imbauan.

Berkunjung ke Coban Pelangi, berarti harus mempersiapkan fisik dan kesehatan yang prima. Jangan dibayangkan, lokasi Coban Pelangi seperti Coban Rondo di Kecamatan Pujon. Tentu berbeda, Coban Pelangi masih sangat alami, untuk menikmati air terjun, pengunjung harus membayar dengan keringat.

Amat disarankan, pengunjung memakai alas kaki yang memadai untuk jarak tempuh sekitar 20 menit. Menuju air terjun, pengunjung memang wajib menjejaki medan berbukit dengan kemiringan mencapai sekitar 45 derajat. Usai melewati punggungan bukit selama sekitar 15 menit, selebihnya tinggal menyusur jalur diatas anak sungai.

Selama perjalanan, alam menyuguhkan keelokan yang tiada tara, kontur pegunungan, hutan yang rimbun dan sungai yang jernih. Kicau burung-burung silih berganti, menjadi hiburan yang langka. Tak usah khawatir soal makanan dan minuman, di sepanjang perbukitan berjajar warung-warung dengan konsep alam.

Jembatan Cinta



Usai menikmati perbukitan dengan sudut kemiringan 45 derajat, saatnya perjalanan mencapai bibir sungai. Di ujung bukit, membentang sebuah jembatan berbahan dasar bambu, yang disusun sedemikian rupa. Jembatan itu hanya cukup dilewati dua orang.

Bagi muda-mudi, jembatan itu bisa disebut sebagai jembatan cinta. Mau tak mau, pasangan yang tengah berpacaran pasti akan bergandeng tangan saat memasuki ujung jembatan. Gemericik air di bebatuan serta kicau burung-burung, memang menimbulkan suasana romantis.

Capek berjalan kaki, sebuah pondok peristirahatan di bibir sungai bisa membantu menormalkan nafas. Pondok yang terletak sekitar 10 meter dari jembatan bambu itu berada di bawah rimbun pepohonan. Dari pondok itu, Air terjun cukup ditempuh sekitar lima menit.

Pelangi Di Atas Tebing
AIR terjun Coban Pelangi mengalir dari tebing yang memiliki ketinggian 110 meter. Pesona air terjun itu bisa dinikmati sambil menggelar tikar di atas zona lapang yang telah disiapkan pengelola. Satu pondok perlindungan juga disiapkan menghadap ke arah air terjun.

Jika cuaca sedang baik, pengunjung yang beruntung bisa menyaksikan ’Pelangi’ yang membiaskan di pucuk-pucuk tebing. Biasanya, Pelangi muncul pada jam 10 pagi sampai jam 2 siang. Fenomena alam itu muncul akibat butiran air terjun yang terbawa angin, serupa buliran-buliran kabut.

Jika masih belum puas menyaksikan dari zona lapang, mencelupkan diri di anak sungai bisa menjadi pilihan menarik. Namun, tentu saja, pengunjung harus menyiapkan pakaian ganti. Tumpahan air terjun diatas bebatuan menimbulkan percikan air seperti hujan gerimis.

Dilengkapi Ojek Kuda

JARAK tempuh yang cukup lumayan menuju air terjun Coban Pelangi akan disiasati oleh Pemerintah Desa Ngadas. Menurut Koordinator Wisata Coban Pelangi, Gatot Aryo, membuka ojek kuda itu dilontarkan oleh Kepala Desa Ngadas Kartono. Persewaan kuda itu akan disediakan warga Ngadas, dengan besaran sewa yang terjangkau.

”Masih kita usulkan, rencana ini cukup bagus,” katanya. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Malang Ir. Purnadi mendukung rencana itu. Purnadi menilai ide itu cukup tepat diterapkan di Coban Pelangi. Pemkab Malang mendorong pihak Perhutani untuk menyetujui rencana pihak Pemerintahan Desa Ngadas tersebut.

”Kita mendukung sekali, itu bagus, Dinas nanti akan bertugas mencari investor untuk hotel dan lain-lain,” tegas Purnadi. Jika bisa dikembangkan, ojek kuda sebenarnya tak melulu menempuh jalur Coban Pelangi. Pihak pengelola boleh saja menawarkan rute berkuda melewati wisata agro Apel di Desa Gubuk Klakah. Kalau masih kurang, wisata agro di Desa Ngadas juga menjadi alternatif terbaik.

Selain kental dengan budaya pertanian tradisional, wraga Ngadas masih menjaga tradisi setempat. Semisal tradisi Unan – unan atau (Ngarak Ndase Kebo) arti dalam bahasa Indonesia yaitu mengiring kepala hewan kerbau. Kegiatan ini dilakukan sekali dalam 8 tahun (sewindu).

sumber wisatamalang.com

Museum Brawijaya Malang



Museum adalah tempat wisata yang bertujuan untuk mengingatkan kita pada kejadian di masa lampau. Dan merupakan wisata sejarah dan kejuangan yang banyak memberikan pendidikan sejarah bagi pelajar maupun kalangan umum yang berkunjung. Begitu juga museum brawijaya yang berada di kota Malang. Museum ini berisi benda-benda bersejarah pada zaman perang kemerdekaan hingga koleksi foto-foto malang pada tempo dulu.Terletak di jalan Ijen no 25 Malang. Museum brawijaya diresmikan pada tanggal 4 mei 1968.Dengan luas mencapai 6825 m2, terbagi atas 2 area utama. Yaitu area pamer dan perkantoran.

Di depan museum dipajang koleksi tank yang digunakan pada pertempuran 10 november 1945 di Surabaya Kemudian senjata penangkis serangan udara yang disita oleh BKR pada September 1945 dari tangan tentara Jepang. Meriam cannon 3,5 Inch yang diberi nama “Si buang”. Tank AMP-Track yang digunakan dalam pertempuran para pejuang TRIP.

Koleksi di dalam museum juga tak kalah menarik. Antara lain koleksi senjata yang digunakan pada zaman kemerdekaan. Foto-foto jaman perang kemerdekaan. Foto-foto pemberontakan. Foto-foto Malang Tempo Dulu, komputer jadul jaman dahulu kala yang cukup besar walau hanya digunakan untuk menghitung, benda peninggalan panglima besar Sudirman dan lain-lain. Terdapat juga gerbong maut yang menjadi ikon dari museum ini.
Semboyan dari museum Brawijaya Malang adalah "Citra Uthapana Cakra".
Dari bahasa San sekerta Citra berarti Sinar, Uthapana berarti Yang Membangkitkan,
dan Cakra adalah Kekuatan. Berarti jika disatukan arti semboyan tersebut mempunyai makna"Sinar Yang Membangkitkan Kekuatan".
Untuk pengunjung, Museum Brawijaya Malang terhitung cukup terkenal,
mulai dari sabang sampai merauke, bahkan dari luar negeri juga pernah mengunjungi Museum tersebut,
diantaranya Australia, Jepang, China, Amerika dan Negara-negara besar lainnya

Ayo bantu melestarikan peninggalan sejarah dengan datang ke museum, tiket masuk sekitar Rp.2000 untuk perawatan benda-benda peninggalan sejarah bangsa kita.

sumber : http://thesungirls.blogspot.com/2009/01/museum-brawijaya.html

Panaroma Gunung Bromo

Gunung Bromo
Pengunjung biasa mengunjungi kawasan ini sejak dini hari dengan tujuan melihat terbitnya matahari. Untuk melihatnya, Anda harus menaiki Gunung Pananjakan yang merupakan gunung tertinggi di kawasan ini. Medan yang harus dilalui untuk menuju Gunung Pananjakan merupakan medan yang berat. Untuk menuju kaki Gunung Pananjakan, Anda harus melalui daerah yang menyerupai gurun yang dapat membuat Anda tersesat. Saat harus menaiki Gunung Pananjakan, jalan yang sempit dan banyak tikungan tajam tentu membutuhkan ketrampilan menyetir yang tinggi. Untuk itu, banyak pengunjung yang memilih menyewa mobil hardtop (sejenis mobil jeep) yang dikemudikan oleh masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar berasal dari suku Tengger yang ramah dengan para pengunjung.

Sampai diatas, ada banyak toko yang menyediakan kopi atau teh hangat dan api unggun untuk menghangatkan tubuh sambil menunggu waktu tebitnya matahari. Ada pula toko yang menyewakan pakaian hangat. Menyaksikan terbitnya matahari memang merupakan peristiwa yang menarik. Buktinya, para pengunjung rela menunggu sejak pukul 5 pagi menghadap sebelah timur agar tidak kehilangan moment ini. Anda pun tidak selalu bisa melihat peristiwa ini, karena bila langit berawan, kemunculan matahari ini tidak terlihat secara jelas. Namun, saat langit cerah, Anda dapat melihat bulatan matahari yang pertama-tama hanya sekecil pentul korek api, perlahan-lahan membesar dan akhirnya membentuk bulatan utuh dan memberi penerangan sehingga kita dapat melihat pemandangan gunung-gunung yang ada di kawasan ini. Antara lain, Gunung Bromo, Gunung Batok, atau Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa.Selesai menyaksikan matahari terbit, Anda dapat kembali menuruni Gunung Pananjakan dan menuju Gunung Bromo. Sinar matahari dapat membuat Anda melihat pemandangan sekitar.melewati lautan pasir yang luasnya mencapai 10 km². Daerah yang gersang yang dipenuhi pasir dan hanya ditumbuhi sedikit rumput-rumputan yang mengering. Tiupan angin, membuat pasir berterbangan dan dapat menyulitkan Anda bernafas.

Untuk mencapai kaki Gunung Bromo, Anda tidak dapat menggunakan kendaraan. Sebaliknya, Anda harus menyewa kuda dengan harga Rp 70.000,- atau bila Anda merasa kuat, Anda dapat memilih berjalan kaki. Tapi, patut diperhatikan bahwa berjalan kaki bukanlah hal yang mudah, karena sinar matahari yang terik, jarak yang jauh, debu yang berterbangan dapat membuat perjalanan semakin berat.

Sekarang, Anda harus menaiki anak tangga yang jumlahnya mencapai 250 anak tangga untuk dapat melihat kawah Gunung Bromo. Sesampainya di puncak Bromo yang tingginya 2.392 m dari permukaan laut, Anda dapat melihat kawah Gunung Bromo yang mengeluarkan asap. Anda juga dapat melayangkan pandangan Anda kebawah, dan terlihatlah lautan pasir dengan pura di tengah-tengahnya. Benar-benar pemandangan yang sangat langka dan luar biasa yang dapat kita nikmati.
Sumber wisatamalang.com

Gunung kawi



Mitos Pesugihan Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan (pesugihan).

Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaannya, terutama menyangkut masalah kekayaan. Mitos seputar pesugihan Gunung kawi ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan "berkah" berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.

Biasanya lonjakan pengunjung yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi (hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.

Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir dan batin sebelum berdoa.

Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang dikunjungi karena 'dikeramatkan' dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:

1. Rumah Padepokan Eyang Sujo

Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.

2. Guci Kuno

Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama 'janjam'. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.

3. Pohon Dewandaru

Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.

Untuk mendapat 'simbol perantara kekayaan', para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.

Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.

Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?

Yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi ini.

Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.

Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam eninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan erayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini iasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.

Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan lutut.

Hingga dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air. Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.

Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini pun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.
Wisata Ziarah Pesugihan Gunung Kawi

"Gunung tidak perlu tinggi asal ada dewanya."

Pepatah populer di kalangan warga Tionghoa ini bisa menjelaskan kenapa Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer. Kawi bukan gunung tinggi, hanya sekitar 2.000 meter, juga tidak indah. Tapi gunung ini menjadi objek wisata utama masyarakat Tionghoa.

Tiap hari ratusan orang Tionghoa, termasuk orang pribumi naik ke Gunung Kawi. Masa liburan plus cuti bersama Lebaran ini sangat ramai. Karena terkait dengan kepercayaan Jawa, Kejawen, maka kunjungan biasanya dikaitkan dengan hari-hari pasaran Jawa: Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro, dan Tahun Baru.

"Pokoknya selalu ramai, Mas," ujar Syaikoni (nama samaran) salah satu seorang pemandu wisata. Syaikoni memang tidak salah, saat berjalan kaki sejauh satu kilometer menuju pusat wisata utama (makam dan kelenteng), terlihat lautan manusia. Macam pasar malam. Pengemis ada sekitar seratus orang (anak-anak sampai orang tua). Toko-toko souvenir berdempetan hingga pesarehan.

Penginapan, kata Syaikoni, lebih dari 10 buah, dengan tarif Rp 30.000 hingga Rp 200.000. Restoran Tionghoa yang menawarkan sate babi dan makanan tidak halal (buat muslim) cukup banyak. Tukang ramal nasib. Penjual kembang untuk nyekar. Penjual alat-alat sembahyang khas Tionghoa. Belum lagi warung nasi dan sebagainya.

"Gunung kok ramai begini kayak di kota?" tanya salah seorang pengunjung yang baru pertama kesana pada Syaikoni.

"Gunung Kawi yang begini ini. Fasilitasnya sudah direnovasi oleh yayasan, ya, pakai uang sumbangan pengunjung. Mereka yang dapat rezeki, usahanya lancar, sumbang macam-macam. Akhirnya, dibuat bagus seperti sekarang," tutur Syaikoni, 33 tahun, asli Wonosari.

Dia sudah beberapa tahun menjadi pemandu wisata sekaligus pembawa barang-barang pengunjung. Syaikoni tahu banyak seluk-beluk Gunung Kawi. Usai kunjungan, kita bebas memberikan tips kepadanya. Tidak pakai tarif-tarifan buat guide ala Gunung Kawi.

Apa yang dicari orang-orang di Gunung Kawi? Kekayaan? Rezeki? Usaha lancar? Macam-macam niat orang. "Ya, kita olang mo beldoa semoga dikasih rejeki. Pokoke, usaha kita olang lancal lah," ujar seorang ibu asal Surabaya dengan logat khasnya tionghoa.

Jawaban sejenis disampaikan pengunjung lain. Karena itu, warga Jawa Timur kerap mencitrakan Gunung Kawi sebagai tempat pesugihan. Tapi, bagi kalangan kejawen, penggiat budaya Jawa, Gunung Kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestarian budaya Jawa. Banyak ritual kejawen diadakan di sini secara teratur dan diikuti aktivis budaya Jawa di seluruh Pulau Jawa.

Kalau masuk makam dua makam tokoh yang telah dijelaskan diatas, pengunjung harus membeli kembang. Sebelumnya, bayar retribusi untuk Desa Wonosari Rp 2.000. Lalu, menyerahkan KTP (kartu tanda penduduk) atau identitas lain pada satpam untuk didaftar nama dan alamat. Sumbang lagi uang tapi sukarela. Jangan kaget kalau anda menjumpai banyak sumbangan atau retribusi di aset wisata Kabupaten Malang ini.

Saat saya masuk ke kompleks Gunung Kawi, hampir 99 persen warga keturunan Tionghoa. Anak-anak, remaja, profesional muda, hingga kakek-nenek. Orang-orang itu bersembahyang layaknya di kelenteng. Masuk ke makam, jalan keliling makam, sambil membuat gerakan menyembah macam di kelenteng. Tidak ada arahan atau instruksi, mereka semua melakukan gerakan-gerakan itu.

Hampir tidak ada Tionghoa itu yang beragama Islam. Kok begitu menghormati dan sembahyangan di depan makam Imam Soedjono dan Mbah Djoego? Apa mereka tahu siapa yang dimakamkan di situ? Belum lagi kalau kita bahas secara teologi Islam atau Kristiani tentang boleh tidaknya melakukan ritual di Gunung Kawi.

"Memang, Mas, semua orang yang datang pertama kali di Gunung Kawi pasti bertanya begitu. Saya juga nggak tahu kenapa. Yang jelas, sejak dulu ya begitu. Kalau sudah tradisi dan kepercayaan orang, ya, mau apa lagi?" kata Syaikoni dengan sangat sopan.

Para pemandu wisata di Gunung Kawi berusaha tidak menyinggung kepercayaan atau agama orang lain. Selain sensitif, mereka tak ingin bisnis mereka terganggu. Harus diakui, warga Desa Wonosari mendapat banyak berkah dari objek wisata Gunung Kawi. Tak sedikit penduduk mengais rezeki di kawasan Gunung Kawi mulai pemandu wisata, penjual bunga, warung, satpam, parkir, dan sebagainya.

Selain berdoa sendiri-sendiri, Yayasan Gunung Kawi menawarkan paket ritual tiga kali sehari: pukul 10.00, pukul 15.00, pukul 21.00. Ritual ini dipimpin dukun atau tukang doa setempat, namun harus pakai sesajen untuk selamatan. Siapa yang mau ikut harus mendaftar dulu di loket.

Tarif barang-barang selamatan ditulis jelas di loket yang bagus. Ada dua tipe selamatan agar keinginan anda (dapat rezeki, usaha lancar) tercapai. Bagi mereka yang percaya.
Pesugihan Gunung Kawi
Pengunjung antre membeli keperluan ritual






Berapa tarif selamatan? Berikut beberapa item yang umum digunakan, dan harga mengikuti kurs tentunya hehe..

Minyak tanah Rp 60.000
Solar Rp 100.000
Minyak goreng Rp 250.000
Beras Rp 400.000
Kambing Rp 500.000
Sapi Rp 7.500.000
Ayam Rp 25.000
Wayang kulit Rp 750.000
Ruwatan Rp 4.000.000


SUMBER WARUNG BEBAS.COM